Biaya Seorang Perfeksionis

Ditulis

Apa kalian pernah ingin mengerjakan suatu hal, tetapi merasa terhalang oleh hal lain yang kalian rasa jika diselesaikan duluan bisa membantu menyelesaikan hal utama yang ingin dikerjakan dan terus menerus seperti itu yang pada akhirnya mendistraksi pada tujuan utama kalian?

Jika iya kalian tidak sendiri, hal ini disebut “yak-shaving” dan hal ini sering saya alami.

Ada masa dimana ingin memulai projek baru, tetapi ada hal-hal kecil yang malah menghabiskan waktu saya tanpa membuat projek itu berjalan sama sekali.

  • Coba iseng buat project website baru
  • Hmm, sepertinya lebih membantu kalo ada kanban board nya dan dibuat task-task kecil
  • Bosen pakai Trello, kanban board yang bagus saat ini apa ya... Lanjut googling `best kanban board`
  • Eh, kalo dibuat dokumentasi yang rapi bagus juga, bisa membantu kedepannya kalo dibuat jadi portfolio. Lanjut googling `best note taking app`
  • Hmm, framework yang lagi populer apa ya. Lanjut googling `best web framework`

Pada akhirnya waktu terbuang untuk surfing internet juga setup hal-hal yang sebenarnya tidak membuat projek berjalan. Lebih buruk, projek tidak dimulai sama sekali setelah melakukan “persiapan matang” di atas.

Saya seorang perfeksionis dan saya menyadari itu. Dalam pekerjaan (contoh dalam pekerjaan desain) color tokens harus didefinisikan di awal, spacing harus selalu konsisten, pixel-perfect design itu nomor satu. Jika ada hal yang tidak sesuai sekecil apapun, hal tersebut akan bergemuruh dibelakang kepala saya.

Hal ini juga yang membuat saya sulit puas dengan hasil karya sendiri. Jangan salah paham, sulit merasa puas juga hal yang baik itu pertanda bahwa ada dorongan untuk ingin improve keahlian kita.

Tetapi disini banyak karya yang terbengkalai ditengah jalan karena duluan merasa tidak puas dan terasa sia-sia jika dilanjutkan . Demotivasi, hasil karya tidak selesai, yang didapat hanya lelahnya saja.

Akhirnya saya menyadari bahwa ini adalah biaya yang harus saya bayar sebagai seorang perfeksionis.

Seiring berjalannya waktu saya mencoba memahami diri saya sendiri, lebih peka terhadap bergemuruh dibelakang kepala saat hal tidak sesuai dan mencari tahu apakah ada hal lain yang mendasari perasaan tersebut, kenapa selalu merasa tidak puas dengan karya sendiri.

Ternyata yang mendasari rasa perfeksionis saya adalah rasa ketakuan akan gagal dan rasa imposter syndrome. Secara tidak sadar saya menkompensasi perasaan tersebut dengan berusaha semaksimal mungkin untuk meraih “kesempurnaan” tersebut yang padahal tidak mungkin juga untuk dicapai.

Di penghujung hari, bukan karya yang tidak sempurna yang menghantui, tetapi rasa gelisah akan kegagalan dan/atau penilaian negatif dari orang lain.

Setelah menyadari hal ini, saya pun mulai belajar untuk lebih aware dengan diri sendiri terlebih saat membuat suatu karya, lebih kritis dengan penilaian sendiri terhadap diri sendiri, dan pastikan bagikan sejelek apapun hasilnya.

Jika tulisan saya ini menggema atau relatable dengan diri kalian, pesan saya adalah kenali lebih dalam diri kalian. Kalian akan terkejut betapa asingnya kalian dengan diri kalian sendiri, dan jika kalian berbagi rasa ketakutan yang sama dengan saya teruslah berkarya dan jangan ragu membagikan karya, jangan berhenti regardless penilaian orang lain diluar sana, yang bisa kita kendalikan adalah diri kita sendiri bukan orang lain. Karena mungkin saja karya kalian selanjutnya adalah masterpiece kalian.

Keep on creating. You might be suck now, but with progress you won’t suck forever.
Ancora Imparo

Diperbarui